Kepada Diriku.
Maafkanlah aku yang sudah merusak Diriku, kala aku tak mementingkanmu, kala aku mementingkan hasratku.
Segala yang kulakukan kuakui itu tidak semuanya benar. Kuakui itu.
Dan tolonglah, aku hanya inigin meminta tolong kepadamu untuk sekali saja untuk mendengarkan suara dari mulutku yang kotor ini.
Aku mohon, atas semua kesalahanku, maafkanlah aku, Diriku.
Aku salah. Aku tidak patut melakukan hal itu. Namun aku terus saja terkurung dalam keinginan egoisku.
Ku tahu aku tidak sempurna, namun, maafkanlah aku Diriku. Aku hanya bisa membawa hatiku saja kepadamu.
Tolonglah untuk sekejap saja kau membaca tulisan ini, aku ingin kau membuka pintu hatimu.
Aku akan mencoba untuk melepasmu, Diriku.
Sebab jikalau kau terkurung dalamku, aku tidak akan bisa menemukan apa itu arti sebenarnya dari jiwa yang menyatu.
Aku hanya menginginkan untuk sekali saja, jika kau mau mendengarkanku.
Maaf.
Salam kasih,
Aku.
Ayayayaya....
What you think?
Minggu, 03 Juni 2012
Kamis, 10 Mei 2012
Hei, aku telah mencoba, tapi...
Malam memang gelap. Tidur memang harus, namun kalau tidak bisa tidur ya mau bagaimana lagi? Aku sudah berguling-guling di kasurku sampai aku harus kembali merapikan kasurku dan akhirnya kembali berguling di atasnya. Hah... Sungguh aneh aku ini...
Orang mana lagi yang tidak seaneh ini? Malam-malam, berguling-guling, lalu pada akhirnya malah melakukan hal yang lain. Bahkan mungkin orang lain pun yang melihat akan bingung. Haah...
Kali ini...
Ya...
Coba pikirkan sejenak....
Orang mana lagi yang tidak seaneh ini? Malam-malam, berguling-guling, lalu pada akhirnya malah melakukan hal yang lain. Bahkan mungkin orang lain pun yang melihat akan bingung. Haah...
Kali ini...
Ya...
Coba pikirkan sejenak....
Sudah lama ini... Sudah lama aku hidup......Hmm... Kita maksudnya...
Dan salama itu juga kita bernafas, menghirup udara, melihat, dan lain-lain...
Dan salama itu juga kita bernafas, menghirup udara, melihat, dan lain-lain...
Kadang bermain, kadang bercanda, kadang diam, dan lebih sering gelap. Gelap karena lampu yang dimatikan. Gelap karena hening yang berkelimpahan. Dan gelap karena pikiran yang sedang kacau...
Sungguh kacau...
Aku pun tak tahu mau bagaimana lagi...
Aku pun tak tahu mau bagaimana lagi...
Aku hendak menggantungkan asa, namun gantunganku terasa pudar...
Hendak aku mencari keyakinan, tapi aku sendiri yang meninggalkannya...
Terkadang akupun hendak membangun, namun aku sendirilah yang merusak...
Itulah aku...
Tak kukira, aku bisa segelap ini...
Haah...
Hanya bertahan di dalam dunia ini dan memberi yang terbaik yang aku bisa...
Hendak aku mencari keyakinan, tapi aku sendiri yang meninggalkannya...
Terkadang akupun hendak membangun, namun aku sendirilah yang merusak...
Itulah aku...
Tak kukira, aku bisa segelap ini...
Haah...
Hanya bertahan di dalam dunia ini dan memberi yang terbaik yang aku bisa...
Terbaik...
Hah, mungkin. Manusia kan hanya bisa memberi 80% terbaiknya.
Jadi itu tidak bisa di bilang terbaik bukan? Yang terbaik itu seharusnya 100% kan?
Jadi itu tidak bisa di bilang terbaik bukan? Yang terbaik itu seharusnya 100% kan?
Tapi...
Tapi...
Memang kalau sudah begitu akhirnya...
Kenapa harus ada kata terbaik?
Kenapa harus ada kata berusaha?
Akhirnya pun sama juga...
Iya kan...
Iya...kan....
....
....
Semua akan mengalir...
Bak air di sungai, semua akan terapung jauh dari hulu...
Semua masalah bak kayu besar penghalang aliran...
Yang dapat kita lakukan untuk membuat aliran pikiran menjadi tenang adalah menyingkirkan kayu itu...
Dan menjadi pikiran yang tenang akan membuat hati bening bak air di danau...
Semua bisa terkendali jikalau emosi tidak mencampuri...
Semua bisa ditangani kala kepala tak kunjung mendidih...
Jadi, untuk apa beremosi?
Untuk apa menghukum?
Biarlah waktu yang melewatinya, biarkan dia yang mengurusnya...
Semua akan tenang...
Tenang dan damai....
Aku....
Damai....
...
. . .
. .
.
Semua bisa ditangani kala kepala tak kunjung mendidih...
Jadi, untuk apa beremosi?
Untuk apa menghukum?
Biarlah waktu yang melewatinya, biarkan dia yang mengurusnya...
Semua akan tenang...
Tenang dan damai....
Aku....
Damai....
...
. . .
. .
.
Dan sekarang aku kembali beristirahat dengan tanpa emosi...
Sabtu, 07 April 2012
Memori
Ya, Saat itu tidak akan terulang kembali...
Karena sejarah tak menatap wajah...
Karena waktu tak mengenal raut...
Karena dunia terus berdendang...
Berputar menuju masa depan...
Berpacu menuju pembaharuan...
Saat semua terlena, waktu bertindak...
Saat itulah waktu berlari...
Menjauh...
Semakin jauh...
Dan semakin cepat...
Meninggalkan yang terlena...
Hingga alam memisahkan fana dan abadi...
Tertawakan yang meratapi asa...
Acuhkan yang membanggakan masa...
Semua tiada arti...
Semua tiada maksud...
Karena arti dan maksud...
Hanya dicari hari ini...
Ku kira semua akan kembali...
Kala waktu mengizinkan...
Namun sekarang aku tahu...
Kala waktu adalah hidup...
Dan hidup tidak pasti...
Tak sesuai asa...
Baik lebih, baik kurang...
Karena inilah hidup...
Karena inilah kita...
Karena inilah memori...
Karena sejarah tak menatap wajah...
Karena waktu tak mengenal raut...
Karena dunia terus berdendang...
Berputar menuju masa depan...
Berpacu menuju pembaharuan...
Saat semua terlena, waktu bertindak...
Saat itulah waktu berlari...
Menjauh...
Semakin jauh...
Dan semakin cepat...
Meninggalkan yang terlena...
Hingga alam memisahkan fana dan abadi...
Tertawakan yang meratapi asa...
Acuhkan yang membanggakan masa...
Semua tiada arti...
Semua tiada maksud...
Karena arti dan maksud...
Hanya dicari hari ini...
Ku kira semua akan kembali...
Kala waktu mengizinkan...
Namun sekarang aku tahu...
Kala waktu adalah hidup...
Dan hidup tidak pasti...
Tak sesuai asa...
Baik lebih, baik kurang...
Karena inilah hidup...
Karena inilah kita...
Karena inilah memori...
Selasa, 20 Maret 2012
Pasti? Tak Pasti? Tanya!
Aku tak tahu ke arah mana hal ini akan menjurus. Aku hanya sedang gundah memikirkan hal yang orang lain permasalahkan sehingga masalah itu bertransmigrasi kedalam pikiranku dan menyisakan satu dan dua hal di dalam otakku. Terkadang aku pun memikirkan hal yang belum pernah aku selesaikan, sampai sekarang, mungkin... Mungkin juga tidak... Kenapa? Karena belum aku tanyakan. Ya.
Semua ini berlalu ketika waktu berlalu. Banyak orang berpangku tangan pada bahu sang detik dan berharap pada detik sang menit dan detak sang jam, namun mereka gelisah pada injakan tahun dan derunya usia. Tidak selalu begitu memang, namun memang beberapa orang berharap masalahnya akan selesai seiring waktu ebrlalu, jadi dia pun diam manakala waktu saja yang bertindak. Namun benarkah waktu akan bertindak?
Selalu ada di benakku bahwa jika kita semua ini bisa melakukan apa yang kita mau jika kita menginginkannya, menaruh niat kedalamnya dan tentu saja melakukannya tanpa pandang kata menyerah. Niscaya semua itu akan berhasil, menurutku. Namun tentu saja itu tidak 100% benar karena "hidup itu sekitar 70% saja". Aku mendengar hal tentang hidup 70% di Jakarta, tepatnya saat talk show Ajahn Brahm mengenai "All is Well".
Memang terkadang hidup berbuat tidak adil dengan diri kita, namun, benarkah demikian? Apakah benar itu terjadi? Tidakkah kita yang mengeluhkan hal itu sehingga terasa lebih berat? Aku tahu bahwa siapapun di muka bumi ini tidak akan pernah merasakan hidup yang 100% indah, namun tidak ada salahnya kan kalau kita menuikmati 30% hal yang buruk untuk kita nikmati beserta 70% lainnya?
Terkadang itulah yang berada di benakku, namun sekarang yang sedang berada di benakku adalah pertanyaan. Ya, hanya beberapa pertanyaan. Pertanyaan itu terus saja berputar-putar tanpa ada jawaban yang pasti. Ini mungkin sama dengan beberapa orang lainnya. Mereka berspekulasi dan tidak bertanya yang membuat mereka jatuh di lubang yang mereka buat sendiri. Dan karena aku yakin bahwa semua insting dan pengetahuanku bisa saja salah, maka bertanya adalah hal yang paling tepat. Toh, tidak ada salahnya bertanya kan?
Lalu bagaimana dengan spekulasi? Apa itu salah? Menurutku, aku sendiri tidak tahu. Tapi yang terpenting, jika kamu bersedia berspekulasi, maka kamulah yang harus bersedia menerima konsekuensinya. Itu saja. Karena semua hal butuh konsekuensi, entah baik, entah buruk, hukuman atau pujian, penghargaan atau hinaan. Semua tergantung di tangan kalian sendiri. Sebab hidup ada di tangan kalian sendiri (terkecuali satu dan beberapa hal yang menyangkut daur hidup seseorang).
Semua ini berlalu ketika waktu berlalu. Banyak orang berpangku tangan pada bahu sang detik dan berharap pada detik sang menit dan detak sang jam, namun mereka gelisah pada injakan tahun dan derunya usia. Tidak selalu begitu memang, namun memang beberapa orang berharap masalahnya akan selesai seiring waktu ebrlalu, jadi dia pun diam manakala waktu saja yang bertindak. Namun benarkah waktu akan bertindak?
Selalu ada di benakku bahwa jika kita semua ini bisa melakukan apa yang kita mau jika kita menginginkannya, menaruh niat kedalamnya dan tentu saja melakukannya tanpa pandang kata menyerah. Niscaya semua itu akan berhasil, menurutku. Namun tentu saja itu tidak 100% benar karena "hidup itu sekitar 70% saja". Aku mendengar hal tentang hidup 70% di Jakarta, tepatnya saat talk show Ajahn Brahm mengenai "All is Well".
Memang terkadang hidup berbuat tidak adil dengan diri kita, namun, benarkah demikian? Apakah benar itu terjadi? Tidakkah kita yang mengeluhkan hal itu sehingga terasa lebih berat? Aku tahu bahwa siapapun di muka bumi ini tidak akan pernah merasakan hidup yang 100% indah, namun tidak ada salahnya kan kalau kita menuikmati 30% hal yang buruk untuk kita nikmati beserta 70% lainnya?
Terkadang itulah yang berada di benakku, namun sekarang yang sedang berada di benakku adalah pertanyaan. Ya, hanya beberapa pertanyaan. Pertanyaan itu terus saja berputar-putar tanpa ada jawaban yang pasti. Ini mungkin sama dengan beberapa orang lainnya. Mereka berspekulasi dan tidak bertanya yang membuat mereka jatuh di lubang yang mereka buat sendiri. Dan karena aku yakin bahwa semua insting dan pengetahuanku bisa saja salah, maka bertanya adalah hal yang paling tepat. Toh, tidak ada salahnya bertanya kan?
Lalu bagaimana dengan spekulasi? Apa itu salah? Menurutku, aku sendiri tidak tahu. Tapi yang terpenting, jika kamu bersedia berspekulasi, maka kamulah yang harus bersedia menerima konsekuensinya. Itu saja. Karena semua hal butuh konsekuensi, entah baik, entah buruk, hukuman atau pujian, penghargaan atau hinaan. Semua tergantung di tangan kalian sendiri. Sebab hidup ada di tangan kalian sendiri (terkecuali satu dan beberapa hal yang menyangkut daur hidup seseorang).
Senin, 19 Maret 2012
The Devil of Decline (Tower one/ ice tower to boss)
Today, I'll make a walk track (Yeah, not a walktrough) from the beginning or the gate of this tower, until the boss, but just in brief.
First, you enter this tower, you'll get yourself at one room. In front of you, there's a pool of red water and a door. Go trough that door and you'll get yourself at this room (below).
Now go front and go up the stair. Then go to right until you see a door. Go there. And you'll be in this room (below).
Turn that thing until its colour is green. Then something happened outside. Go trough the door you've been go. You'll see that red water is going up like the picture below. Now go to left until you see an anchor sign. Go there and you'll ride something that can float at that red water. Search another anchor sign at upper left map and dock there. After that, search a stair, go up and go right until you see another door.
Now you'll see a place like this (below). Interact with that thing and it'll change to green. Go out.
You'll in this place (below). Go left until you can see an anchor sign. Search tha anchor sign at near bottom of the map. Then go to next area (like at picture below).
Now you're at this area (below). Go to right and you'll see an anchor sign. Then go again to left side of the map and docked it at another anchor sign at the left side of map. Go left until you see a door and go there.
As usually, turn that thing into red then go outside.
Now go down, andgo trough the stair (down) and go to an anchor sign near there (it's at right side of stair). Now go to anchor sign at right upper side of map (like below). Then go to door at your right side.
Then go to right door, not your front.
Now you'll be at this room (below). Go down and then go right until you see an anchor sign. Go there and then go to upper side of map (up, left, up, right, and you'll see another anchor sign). Dock there. Now go right until you see another door and go there.
Now go to another door at upper map. (Don't play with that switch!)
No go right, up, left (yeah, like at below), and up. Then search an anchor sign and go there. Go to upper left side of the map and dock it there. Go up trough the stair and go to the bottom of the map until you see a portal (a picture below this picture below). Go there.
Now turn that switch (like in picture below) into green and go trough the door at upper map.
Now go front unti you see an anchor sign. Then go to upper left map (like picture below), you'll see an anchor sign (like picture below) and a door. Dock there and go trough that door.
Now you can go to first place again by turn a switch at upper left map from green to red and go to left bottom map. And you can also meet the boss here (at right upper map door). If you go out after this point trough that left bottom door and go out from this tower, When you get back, you can go right away to the boss' room because the red water has been gone. So, it's better you go out from this tower, save the game and go to this tower again to beat the boss.Oh, and a little extra, this boss more likely to attack you with ice or water element, but if you attack the boss with fire element, it just like you attack with other element (except ice, obviously). HP : 4500
Have a nice fight and may this walk track may help you! >:D
Senin, 13 Februari 2012
Bak Awan, Bak Mandi
Hitam, putih, abu-abu...
Aku melihat awan di bawah biru...
Lunglai di terpa angin mendayu...
Terus berombak menuju haru...
Bak awan, bebas lepas...
Bebas dengan perbuatan...
Lepas akan hambatan...
Ya, Bebas nan lepas...
Bak awan, kian sulit di capai...
Kian sulit dipegang...
Tak akan terbelenggu...
Tak akan pula diatur...
Aku ingin bebas bak awan...
Aku ingin lepas dari hambatan...
Bukan terkurung bak mandi...
Hanya air dan besi teramati...
Aku ingin keluar dari bak mandi...
Menuju tempat yang lebih luas...
Bukan kolam, bukan kendi...
Hanya lapang luas nan kosong...
Nian asri aku nanti...
Nian bebas aku tunggu...
Biar penantian selalu ada...
Biar aku selalu tunggu...
Demi yang terkurung, kebebasan dan anganku.
Penulis.
Rabu, 08 Februari 2012
Get Up!
Pernahkah anda membaca buku karya Ajahn Brahm ini? Ya, Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya. Sebuah buku yang mencangkup 108 cerpen yang menginspirasi, menyenangkan, dan membuat kita bisa menertawai kekeliruan yang selama ini ada dan kadang kita rasakan.
Buku ini mungkin memiliki judul yang bisa dibilang, aneh, dan kalau kita hanya melihat dari cover depannya saja, kalian bisa tertipu dengan mengira ini adalah buku komik yang tebal atau suatu anekdot panjang. Namun yang sebenarnya ada di dalam buku ini lebih dari itu. Lebih lucu dari anekdot atau komik, lebih harum daripada kotoran, dan lebih bijak daripada seekor cacing pita.
Semua cerita-cerita pendek di dalam buku ini banyak membuatku terkesan dan menyadari akan kebenaran yang sedang dilihat sebelah mata oleh orang banyak. Nilai-nilai yang kadang dinomor-dukan oleh orang-orang lain, malahan menjadi nilai penting yang harus kita pertahankan dalam masa hidup kita ini, seperti selalu bertanya jika ragu, menghargai keharmonisan, cinta kasih, dan lain-lain.
Salah satu cerita yang membekaskan tinta warna-warninya kepadaku adalah cerita tentang "Ular Jahat dan Ular Suci". Itu adalah cerita dimana sang ular jahat yang ingin bertobat tidak bisa membedakan antara berkelahi dan mempertahankan diri. Nilai itu mungkin serupa tapi tak sama dan banyak orang yang memukul rata kedua hal itu menjadi satu kata umum, yaitu berkelahi. Mungkin agak salah, namun beginilah nilai yang sudah diterapkan kepada kita sejak dahulu. Kenapa? Mungkin karena jika kita mengetahui bahwa yang dilarang adalah berkelahi dan yang diperbolehkan adalah mempertahankan diri, maka orang akan memilih alasan itu untuk kabur dari masalah yang dia buat sendiri.
Lalu ada lagi cerita yang memiliki nilai dasar yang harus dimiliki oleh semua orang, yakni harga diri(Mungkin kata ini kurang pas, tapi aku tidak mendapatkan kata yang tepat untuk menggambarkan hal itu). Maksudnya, kita ini berharga dan memang bernilai, namun bukan berarti bernilai untuk dijual kepada orang lain, tapi bernilai dalam hal karya, kelebihan, dan diri kita sendiri. Mungkin kita hanya melihat kekurangan kita dan semakin lama kita melihat, maka semakin tidak sadarlah kita bahwa sebenarnya kita sudah berpusat pada kekurangan kita yang membuat diri kita ter demotivasi sehingga tidak percaya diri, depresi dan hal lainnya, padahal kita masih memiliki 50 kali lipat hal yang baik dari pada hal yang buruk itu. Mungkin itulah hal yang dapat kuterima saat membaca cerita "Dua Bata Jelek".
Masih banyak dan memang masih banyak cerita lucu, menarik, menggugah, dan menyentuh yang dapat kita baca di situ dan aku juga tidak dapat mengungkapkan itu semua di sini karena terbatas oleh waktuku untuk menulis dan hal-hal lainnya. Namun satu hal yang penting, bahwa buku ini dapat menyadarkan akan ketidaktahuan kita dan mulai membuka tirai kebenaran. Benar-benar setetes embun yang murni dalam hujan asam yang pekat dalam dunia ini.
Buku ini mungkin memiliki judul yang bisa dibilang, aneh, dan kalau kita hanya melihat dari cover depannya saja, kalian bisa tertipu dengan mengira ini adalah buku komik yang tebal atau suatu anekdot panjang. Namun yang sebenarnya ada di dalam buku ini lebih dari itu. Lebih lucu dari anekdot atau komik, lebih harum daripada kotoran, dan lebih bijak daripada seekor cacing pita.
Semua cerita-cerita pendek di dalam buku ini banyak membuatku terkesan dan menyadari akan kebenaran yang sedang dilihat sebelah mata oleh orang banyak. Nilai-nilai yang kadang dinomor-dukan oleh orang-orang lain, malahan menjadi nilai penting yang harus kita pertahankan dalam masa hidup kita ini, seperti selalu bertanya jika ragu, menghargai keharmonisan, cinta kasih, dan lain-lain.
Salah satu cerita yang membekaskan tinta warna-warninya kepadaku adalah cerita tentang "Ular Jahat dan Ular Suci". Itu adalah cerita dimana sang ular jahat yang ingin bertobat tidak bisa membedakan antara berkelahi dan mempertahankan diri. Nilai itu mungkin serupa tapi tak sama dan banyak orang yang memukul rata kedua hal itu menjadi satu kata umum, yaitu berkelahi. Mungkin agak salah, namun beginilah nilai yang sudah diterapkan kepada kita sejak dahulu. Kenapa? Mungkin karena jika kita mengetahui bahwa yang dilarang adalah berkelahi dan yang diperbolehkan adalah mempertahankan diri, maka orang akan memilih alasan itu untuk kabur dari masalah yang dia buat sendiri.
Lalu ada lagi cerita yang memiliki nilai dasar yang harus dimiliki oleh semua orang, yakni harga diri(Mungkin kata ini kurang pas, tapi aku tidak mendapatkan kata yang tepat untuk menggambarkan hal itu). Maksudnya, kita ini berharga dan memang bernilai, namun bukan berarti bernilai untuk dijual kepada orang lain, tapi bernilai dalam hal karya, kelebihan, dan diri kita sendiri. Mungkin kita hanya melihat kekurangan kita dan semakin lama kita melihat, maka semakin tidak sadarlah kita bahwa sebenarnya kita sudah berpusat pada kekurangan kita yang membuat diri kita ter demotivasi sehingga tidak percaya diri, depresi dan hal lainnya, padahal kita masih memiliki 50 kali lipat hal yang baik dari pada hal yang buruk itu. Mungkin itulah hal yang dapat kuterima saat membaca cerita "Dua Bata Jelek".
Masih banyak dan memang masih banyak cerita lucu, menarik, menggugah, dan menyentuh yang dapat kita baca di situ dan aku juga tidak dapat mengungkapkan itu semua di sini karena terbatas oleh waktuku untuk menulis dan hal-hal lainnya. Namun satu hal yang penting, bahwa buku ini dapat menyadarkan akan ketidaktahuan kita dan mulai membuka tirai kebenaran. Benar-benar setetes embun yang murni dalam hujan asam yang pekat dalam dunia ini.
Langganan:
Postingan (Atom)