
Aku kembali berpikir. Dari kemarin, tidak, dua atau tiga hari yang lalu. Yang penting saat dimana aku menjadi semakin tidak beruntung. Entah pikiranku atau ini memang aku sedang tidak beruntung. Saat aku menulis ini pun pikiranku kacau oleh suara yang tidak ada asalnya. "Tuk", "Tuk" mirip bunyi nyeletuk yang keluar jika ada chat di facebook. Begitu saja setiap aku menekan lima atau beberapa tombol. Suara itu ada untuk menyelinginya. Aku tahu itu adalah suara dalam otakku yang sudah panas. Sudah konslet. Aku mulai dengan kemarin. Hari di mana tasku berteriak minta tolong namun aku tidak dengarkan. Maka terinjaklah pergelangan tangannya. Sendinya patah dan aku pulang sore-sore dengan tangan tas yang kritis, tanpa P3K yang cukup. Esoknya, Maksudku, hari ini. Aku pergi berjalan kaki ke sekolah seperti biasa. Mendengarkan musik dari headsetku, dan tepat beberapa meter dari sekolah, moodku yang sedang senang mendengarkan musik, terusik oleh teriakan tasku lagi. Seperti biasa, putus, namun sekarang bukan daerah itu lagi, tapi daerah lainnya. Aneh bin ajaib. Haruskah aku bersekolah dengan membawa buku lagi dan membiarkan semua tas bernasib sama? Sepertinya iya. Dan memang harus. Tidak berapa lama sehabis itu, di kelas aku mulai menyadari bahwa hari ini tidak ada pelajaran yang ditukar. Padahal hari Sabtu aku mendengarnya hari ini, tapi semuanya sudah berlalu, jadi biarkanlah berlalu. Biarkanlah aku membawa beban yang berat dahulu, hanya untuk kali ini saja. Lalu pelajaran dimulai dan Fisika! Ya, pelajaran itu lagi. Aku jujur tidak tahu menahu tentang hukum-hukum dan rumus-rumus yang berlaku di situ. Semua nampaknya aneh. Akupun hanya bisa diam dengan tatapan kosong saat Miss Elida mulai menyampaikan soal. Beberapa ketidak beruntungan kadang datang seperti hujan. Rempukan... Lantas, aku diam saja. Aku bingung mau menulis apa. Ya, akhirnya, akulah orang yang paling tidak bisa mengerjakan soal itu di kelasku. Ya sudahlah, dua sudah berlalu. Mungkin nanti akan lebih baik. Namun malamnya, malam ini aku mengirim pesan dan tulisan di delivery reportnya adalah "Waiting". Kemarin juga aku mengirim pesan kepada beberapa orang dan delivery reportnya sama juga, "Waiting". Pesan itu selalu pending, padahal sinyal yang aku terima lumayan banyak. Sungguh merepotkan. Bukannya sampai pada hari ini, pasan yang pending pada hari yang lalu masih berkeras hati mengacungkan kata "Waiting". Mau aku tunggu sampai kapan lagi? Untung saja tadi sudah sampai.
Aku kembali berpikir. Kenapa orang memiliki keberuntungan. Ini hanya membuat orang-orang terbedakan. Ini sama seperti tadi pagi. Aku sedang mendengar musik, saat orang yang bernyanyi itu mengatakan "morning sun", maka aku sedang berada di bawah sinar matahari pagi saat itu. Dunia serasa seperti musik, mengalun dengan indahnya. Namun saat aku merasakan firasat buruk dan benar saja, sementara lagu yang aku dengar masih terus berlanjut seakan tidak melihat ketidak beruntunganku, semua sepertinya berubah menjadi kelabu. Seakan nasib kita itu dipegang oleh "seseorang", walaupun memang nasib kita dipegang oleh-Nya tapi yang menentukan tetap kita. Kadang juga Dia sering "menjahili" kita dengan suatu sentuhan ajaib dan voila! Salah satu lengan dari tasku patah! Apakah itu keberuntungan? Ataukah ada kejahatan yang telah aku perbuat yang membuat kejahatan itu berbalik padaku? Ataukah khanya keteledoran? Bagaimana jika semua orang itu tidak memiliki keberuntungan. Semuanya sama, hanya tindakannya saja yang dapat menentukan arah hidupnya. Namun dunia pun tidak akan berputar jika tidak ada keberuntungan.
“We all dream a lot - some are lucky, some are not. But if you think it, want it, dream it, then it's real. You are what you feel.”
Itulah salah satu filosofi dari Tim Rice. Kita semua bermimpi, beberapa beruntung dan lainnya tidak. Dari potongan kalimat itu, sudah terbedakan antara orang beruntung dan tidak. Apalagi kalau orang itu tidak beruntung, tapi tidak sial, alias netral. Pasti akan terjadi pengelompokan dalam masyarakat lagi.
Aku juga berpikir namun tidka akan mengkriik siapa-siapa lagi. Aku tidak akan mengkritik Dia lagi, atau apa yang Dia berikan, tapi aku. Seperti gambar yang terpampang di atas, ada gambar bayangan di atas kolam ikan. Abu-abu. Ya, seperti itulah kritikku kepada diriku. Aku ini kelabu, tepat di tengah-tengah. Berbuat baik pernah, jahat pun sudah. Tapi aku kadang memaksa orang. Entah orang itu sadar atau tidak, aku akui kesalahanku. Kadang aku terlalu aneh, aku akui keanehanku. Kadang aku meminta orang lain melakukan tugasku, aku akui kesalahanku. Dan kadang aku menumpahkan setetes air dari mataku saat menguap, sebagai tanda bagi kalian yang sudah aku tumpahkan dengan kekelabuanku. Tapi aku bingung. Aku selalu menumpahkan air tidak hanya satu tetes, namun dua atau tiga. Itu kadang-kadnag terjadi saat pelajaran berlangsung, dan kadang saat aku diam. Memang itu adalah aktifitas biologis dimana mata kita kotor dan ada air untuk membersihkan kotoran itu. Namun, aku bingung. Tiap kali aku melakukan kesalahan, malu, bohong, atau apapun itu yang membuat aku tidak terlalu nyaman, air itu kadang mencuci hatiku. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, "Kenapa aku selalu begini? Terlalu memaksa? Terlalu bekerja keraskah? Atau aku yang terlalu dipaksa?" Semua ini hanya membuat aku beretorika di bangku paling pojok belakang kelas. Jauh menyendiri seperti orang yang kelainan jiwa. Hah. Tapi memang pertanyaan itu terus yang ada. Apakah aku bisa? Apakah aku benar? Dapatkah aku melakukannya? Only God and me who know...