Sabtu, 25 September 2010

......

Aku bingung
Sendirian, termenung
Diam tak berkabung

Menatap ke depan
Putih, kosong
Namun gelap

Ingin aku tidur
Namun mata kian terang
Pikiran kian jenuh

Ingin aku selesaikan
Semua perkara
Dengan semua air mata
Namun mata tegakkan diri
Tegarkan hati tak ayal bersedih

Ingin aku ingat
Semua yang sudah terjadi
Semua yang sudah terbengkalai
Semua yang indah
Semua yang sedu
Semua yang membuat aku...

Aku...
Ya, aku yang sekarang...

Mungkin khayalan jauh ke depan
Namun realita masih lebih jauh
Lebih dalam dan bermasalah
Lebih menuntut aku...

Bak sekumpulan debu
Benarkah aku
Tak tahu waktu berlalu
Namun tetapkan hanya satu

Mungkin terkaan ini menyingkap hati
Menyingkap hati yang goyah
Goyah diterka angin malam
Yang dingin menusuk qalbu

Aku hanya ingin
Bernafas...
Dengan lega...
Tiada lagi helangan...
Maupun makian...
Bahkan kekhawatiran...
Yang beratkan nafasku...

Namun semua itu semu
Semua itu fana
Hanya omong dari mulut
Bukan dari hati
Karena aku hanya bisa meminjam hati

Tak ada yang abadi
Walau aku tak tahu keabadian
Walau aku tak mau abadi itu menyelimutiku
Walau aku tak bisa mengakui keabadian

Adakah yang abadi
Aku hanyalah gumpalan perbuatan
Jahat baik, benar salah
Yang melakukan sesuai kehendaknya

Walau sebenarnya aku mau
Keabadian itu menjadi nyata
Melingkupi, menghidupi
Mengobati, menghampiri
Dan mendiami...
Walau semua terasa semu

Aku tetap duduk
Terjerumus dalam pikiran semu
Bernafas dengan berat
Sambil menulis
Dengan kepala yang menunduk
Hati yang terus menyalak
Dan teriakan yang sunyi
Hanya terdengar "...maaf..."

Aku tak dapat berkata
Aku tak dapat menyangkal
Aku tak dapat mengungkapkan
Hanya satu yang terucap "...maaf..."

Haruskah semua ini aku tulis?
Sampai habis penakah semua ini akan berakhir?
Atau sampai kapankah...

...maaf...

Rabu, 22 September 2010

Aku berpikir 2


Aku kembali berpikir. Dari kemarin, tidak, dua atau tiga hari yang lalu. Yang penting saat dimana aku menjadi semakin tidak beruntung. Entah pikiranku atau ini memang aku sedang tidak beruntung. Saat aku menulis ini pun pikiranku kacau oleh suara yang tidak ada asalnya. "Tuk", "Tuk" mirip bunyi nyeletuk yang keluar jika ada chat di facebook. Begitu saja setiap aku menekan lima atau beberapa tombol. Suara itu ada untuk menyelinginya. Aku tahu itu adalah suara dalam otakku yang sudah panas. Sudah konslet. Aku mulai dengan kemarin. Hari di mana tasku berteriak minta tolong namun aku tidak dengarkan. Maka terinjaklah pergelangan tangannya. Sendinya patah dan aku pulang sore-sore dengan tangan tas yang kritis, tanpa P3K yang cukup. Esoknya, Maksudku, hari ini. Aku pergi berjalan kaki ke sekolah seperti biasa. Mendengarkan musik dari headsetku, dan tepat beberapa meter dari sekolah, moodku yang sedang senang mendengarkan musik, terusik oleh teriakan tasku lagi. Seperti biasa, putus, namun sekarang bukan daerah itu lagi, tapi daerah lainnya. Aneh bin ajaib. Haruskah aku bersekolah dengan membawa buku lagi dan membiarkan semua tas bernasib sama? Sepertinya iya. Dan memang harus. Tidak berapa lama sehabis itu, di kelas aku mulai menyadari bahwa hari ini tidak ada pelajaran yang ditukar. Padahal hari Sabtu aku mendengarnya hari ini, tapi semuanya sudah berlalu, jadi biarkanlah berlalu. Biarkanlah aku membawa beban yang berat dahulu, hanya untuk kali ini saja. Lalu pelajaran dimulai dan Fisika! Ya, pelajaran itu lagi. Aku jujur tidak tahu menahu tentang hukum-hukum dan rumus-rumus yang berlaku di situ. Semua nampaknya aneh. Akupun hanya bisa diam dengan tatapan kosong saat Miss Elida mulai menyampaikan soal. Beberapa ketidak beruntungan kadang datang seperti hujan. Rempukan... Lantas, aku diam saja. Aku bingung mau menulis apa. Ya, akhirnya, akulah orang yang paling tidak bisa mengerjakan soal itu di kelasku. Ya sudahlah, dua sudah berlalu. Mungkin nanti akan lebih baik. Namun malamnya, malam ini aku mengirim pesan dan tulisan di delivery reportnya adalah "Waiting". Kemarin juga aku mengirim pesan kepada beberapa orang dan delivery reportnya sama juga, "Waiting". Pesan itu selalu pending, padahal sinyal yang aku terima lumayan banyak. Sungguh merepotkan. Bukannya sampai pada hari ini, pasan yang pending pada hari yang lalu masih berkeras hati mengacungkan kata "Waiting". Mau aku tunggu sampai kapan lagi? Untung saja tadi sudah sampai.

Aku kembali berpikir. Kenapa orang memiliki keberuntungan. Ini hanya membuat orang-orang terbedakan. Ini sama seperti tadi pagi. Aku sedang mendengar musik, saat orang yang bernyanyi itu mengatakan "morning sun", maka aku sedang berada di bawah sinar matahari pagi saat itu. Dunia serasa seperti musik, mengalun dengan indahnya. Namun saat aku merasakan firasat buruk dan benar saja, sementara lagu yang aku dengar masih terus berlanjut seakan tidak melihat ketidak beruntunganku, semua sepertinya berubah menjadi kelabu. Seakan nasib kita itu dipegang oleh "seseorang", walaupun memang nasib kita dipegang oleh-Nya tapi yang menentukan tetap kita.  Kadang juga Dia sering "menjahili" kita dengan suatu sentuhan ajaib dan voila! Salah satu lengan dari tasku patah! Apakah itu keberuntungan? Ataukah ada kejahatan yang telah aku perbuat yang membuat kejahatan itu berbalik padaku? Ataukah khanya keteledoran? Bagaimana jika semua orang itu tidak memiliki keberuntungan. Semuanya sama, hanya tindakannya saja yang dapat menentukan arah hidupnya. Namun dunia pun tidak akan berputar jika tidak ada keberuntungan.
We all dream a lot - some are lucky, some are not. But if you think it, want it, dream it, then it's real. You are what you feel.
Itulah salah satu filosofi dari Tim Rice. Kita semua bermimpi, beberapa beruntung dan lainnya tidak. Dari potongan kalimat itu, sudah terbedakan antara orang beruntung dan tidak. Apalagi kalau orang itu tidak beruntung, tapi tidak sial, alias netral. Pasti akan terjadi pengelompokan dalam masyarakat lagi.

Aku juga berpikir namun tidka akan mengkriik siapa-siapa lagi. Aku tidak akan mengkritik Dia lagi, atau apa yang Dia berikan, tapi aku. Seperti gambar yang terpampang di atas, ada gambar bayangan di atas kolam ikan. Abu-abu. Ya, seperti itulah kritikku kepada diriku. Aku ini kelabu, tepat di tengah-tengah. Berbuat baik pernah, jahat pun sudah. Tapi aku kadang memaksa orang. Entah orang itu sadar atau tidak, aku akui kesalahanku. Kadang aku terlalu aneh, aku akui keanehanku. Kadang aku meminta orang lain melakukan tugasku, aku akui kesalahanku. Dan kadang aku menumpahkan setetes air dari mataku saat menguap, sebagai tanda bagi kalian yang sudah aku tumpahkan dengan kekelabuanku. Tapi aku bingung. Aku selalu menumpahkan air tidak hanya satu tetes, namun dua atau tiga. Itu kadang-kadnag terjadi saat pelajaran berlangsung, dan kadang saat aku diam. Memang itu adalah aktifitas biologis dimana mata kita kotor dan ada air untuk membersihkan kotoran itu. Namun, aku bingung. Tiap kali aku melakukan kesalahan, malu, bohong, atau apapun itu yang membuat aku tidak terlalu nyaman, air itu kadang mencuci hatiku. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, "Kenapa aku selalu begini? Terlalu memaksa? Terlalu bekerja keraskah? Atau aku yang terlalu dipaksa?" Semua ini hanya membuat aku beretorika di bangku paling pojok belakang kelas. Jauh menyendiri seperti orang yang kelainan jiwa. Hah. Tapi memang pertanyaan itu terus yang ada. Apakah aku bisa? Apakah aku benar? Dapatkah aku melakukannya? Only God and me who know...

Sabtu, 18 September 2010

Shape of my heart

"What the heck are you talking about? It's very cool you know! Just deal a card, wear a mask, and say that I love you. But, what's hidden in this song? I just feel something fishy around this song."

That is my response at the first time I heard the song. I just feel something's hidden between this three KEYWORD. I just think about it every moment when I hear this song. It just chain each other. Make it to be meaningful for me.


First, the CARD.
The song tells us about "He". He plays card, but not for money or respect. So, he just play without any destination? Just play for a meditation and an answer? How Come? How about the answer? What is the geometry of chance? The hidden law of probable outcome? And how can be the numbers to lead a dance? Is he play while he is dancing? Many mystery about this one. If you shuffle the card and deal it, you will get a card that different with the second time you do this. Maybe He want to reveals the probability of card that he deals, randomly. He may play the jack of diamonds, or lay the queen of spades, or conceal a king, but his memory of "it" fades. What memory? I don't know what he mean by "it". But the mean of all card is in the refrain. He makes the symbol in the card into something different. The spades are the sword, The clubs are the weapon of war, the diamonds mean money, but he not tell about heart. He just say that the three symbol is not the shape of his heart. Maybe he mean that this "art" has his heart. Maybe he just want to try his luck. Maybe...



Second, the MASK.
It says that he is falling in love to someone and he say "I love you". But he is pretending that she is thinking about something that going wrong. He thinking like that because he wear a mask, and (maybe) she think that he wear a hundred mask. I'm just wandering, why is he say that he just wear a mask, not a face. If he wear a mask, that mean he have a double face. And it can be a half to her and a half to something different. Maybe to his "heart"? 

I just thinking. What is this song's true meaning? Card and love? Maybe those two thing have similarity.
  1. Card and love are random, blind. It can give you heart to love you, or maybe spade to pierce you.
  2. Both of them are not absolute. It is the thing that the song tell in the first time you hear it. Probability. It can take you up to ace of heart, or maybe bring you down to ace of spade.
  3. Both of them are taking cost to yourself. It can be respect, money, or maybe a heart.
  4. Both of them can stab you from behind. It can be happen because of mask, lie, etc.
Things are going worse if the card in your heart is club, spade, or diamond. But if you take the heart card to your heart, things are going to change. Maybe good, maybe neutral, or maybe bad. 'Cause this life is a card.

Senin, 13 September 2010

Aku berpikir 1

Hah. Libur seperti sekolah dan sekolah seperti libur. Itu yang aku rasakan. Semua seperti terbalik. Saat aku sekolah, yang aku rasakan adalah nikmatnya liburan. Tetapi saat libur, yang aku rasakan adalah terpenjara di depan teras ruko kecilku ini. Sungguh aneh tapi inilah yang terjadi. Memang mau bicara apa lagi? Sungguh, aku ingin dapat bebas. Lepas! Melewati hari-hari bersama kalian, teman! Sayang, aku terperangkap dalam perangkap semu yang memerangkap diriku ini. Memang ini seperti perang antara aku dan perangkapp itu, tapi perangkap itu seperti memerangkap segala perangkap yang sudah aku angkat. Aku menjadi bingung. Aku menjadi bimbang. Apakah aku bisa melewatinya dengan wajah tersenyum?

Hah. Semua seperti mimpi. Ini bukan masalah ruko atau perangkap. Ini soal aku dan musik yang aku dengarkan. Memang aku menyukai segala jenis musik dan aku sering membayangkan musik itu di pikiranku. Saat tempo dari musik itu mulai kencang, aku membayangkan diriku lari. Tergantung situasi, apakah lagu itu mencerminkan hutan, air, atau kebakaran, atau mungkin kota. Yang penting aku bermimpi dengan memejamkan mata sambil duduk atau tidur dengan headset yang terpasang di kedua kupingku dengan volume sedang. Ya, aku bayangkan diriku berlari. Lalu berjalan dan melihat sekeliling. Aku merasakan sesuatu akan terjadi. Entah gempa, entah banjir, entah kebakaran hutan. Yang penting saat aku bermimpi, apapun bisa terjadi. Sebab di mimpi, semua bisa menjadi maya.

Alangkah indahnya jika ada ajakan untuk mengubah diri ini menjadi insan yang lebih memikirkan diri sendiri. Mengajarkan sepenuh hati dan menasehati sepenuh jiwa. Namun apa yang terjadi adalah aku sering mementingkan orang lain ketimbang diriku sendiri. Benarkah? Ini hanya pikiranku, namun, ada yang bilang kalau aku lebih mementingkan diriku. Mana yang benar? Ah, semua seperti alur dalam novel. Ada konflik dan ada penyelesaian. Namun ada juga yang belum selesai. Bahkan masih bertahan. Sebenarnya bukan konflik. Hanya kebimbangan batin saja. Ya, sepertinya aku harus berpikir lebih serius. Jangan selalu meratakan muka yang sudah rata tergilas waktu. Ya sudahlah.

Hei! Ya! Aku terpikirkan ikan! Memang apa bagusnya? Haha, memang aneh. Di benak terlintas ikan dan aku langsung menulis demikian anehnya. Memang kenapa dengan ikan? Bukankah itu nama dari gang tempat aku sedang mengetik tulisan ini? Bukankah itu adalah hewan air? Bukankah itu hewan yang selalu kau makan setiap harinya? Ya mungkin, tapi aku merasa aneh dengan ikan. Aku sudah pernah diterkam, tepat dimulut oleh ikan peliharaanku sendiri. Betapa jahatnya! Namun memang itu salahku. Buat apa mendekatkan mulut ke dalam bak? Hahaha, teringat masa lalu. Ya, kenapa ikan selalu saja di pancing? Kenapa mereka terus saja memakan umpan, padahal mereka bisa memakan makanan lain yang ada di tempatnya? Kenapa mereka harus di pancing? Sebab itu ikan? Bukan itu yang aku ingin tahu! Alasan konkret! Apa? Hah. Ikan ini menyusahkan saja. Mahkluk penambah IQ ini sungguh membuatku bingung. Pantas saja sering menjadi maskot. Hah, ya sudahlah. lebih baik aku kembali berlari. Berlari menuju mimpi. Mimpi di dalam lagu. Bersama ikan-ikan dilaut. Dan dengan pikiran yang mampir ke smua rumah. Mencari mereka. Mencari...