Sebuah hikmah dibalik tragedi. "Tragedi? Tragedi apanya? Cuma dimarahin doank kok bisa jadi tragedi?". Kata hatiku selalu berkata demikian jikalau aku menulis cerita ini sambil merenung. Mungkin jika aku ceritakan dengan mendramatisirkan setiap kata-kata dari ayahku, beberapa atau semua anak kelas X akan bersorak dengan penuh semangat bagai pasukan Imam Bonjol yang akan berperang melawan balada fanatik komunis dengan tombak yang diacungkan ke langit, namun dengan kata yang berbeda. Bukan "Merdeka!", "Hiduplah Indonesiaku!", "Allah Maha Besar!", ataupun teriakan memanggil ojek, namun dengan kata "Lebay!". Hanya itu yang dapat terpikirkan saat alam bawah sadarku berkelana ke luar rumah.
Selasa itu. Amarah yang membeludak dari ayahku dan ibuku tercinta (?). Ayahku mungkin yang paling khawatir akan diriku yang pulang di atas jam 6. Sebenarnya, sudah malamkah itu? Atau orangtuaku saja yang overprotective? Atau karena telepon dari mereka yang tidak kuangkat? Ya, alasan ketiga sudah sangat logis, namun kedua alasan lainnya butuh pertimbangan. Benar atau tidaknya aku tak tahu. Pokoknya, yang penting adalah aku yang bersalah. Benarkah?
Sebenarnya hari-hari sebelum itu aku sempat berbohong dan membuat segala di masa yang akan datang berubah menjadi seperti sekarang. Ceramah bersama ayahku selama 30 menit. Namun ku kira ada beberapa buah yang dapat ku petik. Dan mungkin akan menjadi bekal hidup di kemudian hari nanti.
Ya. Mungkinkah itu membawa arti? Mungkin nanti. Dikemudian hari nanti. Dikala aku sudah sebatang kara. Walaupun sekarang badanku mirip dengan batang pohon toge. Tapi paling tidak pelajaran itu menggemingkan hatiku. Tetapi, ternyata dugaanku keliru.
Selang beberapa bulan, pentas teater yang berlangsung pukul 10 pagi, namun aku datang pukul 6 pagi. Dan, secara tidak sengaja, aku berpapasan dengan guru pembimbing eskul teater tepat di gerbang depan. Ya, langsung saja setelah itu tugasku mengalir seperti aliran lahar panas dari gunung everest yang meledak kencang karena kejatuhan bom atom. Aku seperti selalu berjalan dan berlari. Duduk lalu kembali berdiri. Diam dan bicara kembali. Melihat dan berpaling. Sampai tiba waktu untuk beraksi di atas panggung.
Ya mungkin segalanya itu akan menjadi abu saja jika tidak di sertai kedisiplinan dan kecepatan dalam bersiap-siap dan melakukan semua tugas. Semua akan hancur dan berjalan sesuai dengan jam karet jika kami tidak melakukanya sepenuh hati. Dan mungkin saja pertunjukan drama ini akan menjadi berantakan, kurang seru, atau bahkan membosankan bagi penonton jika kita tidak patuh pada apa yang sudah dipersiapkan.
Setelah drama yang kami (Oops, lupa (:P). kami di sini itu saya, Jonathan, Ellyn, Naldi, dan Die-die) mainkan selesai. Telontar beberapa komentar yang manis. "Kalo di latihan sebelumnya A, maka sekarang jadi A+!", "Surprising, ada improv yang baru dan segar dari latihan yang saya lihat.", dan beberapa komentar lainnya. Memang aku bingung apa yang baru dalam penampilan kami, namun, itu mungkin adalah keberhasilan yang patut dirayakan dan dibanggakan. Ya, dalam pentas itu memang aku juga banyak bekerja dari awal sampai akhir acara, bahkan sampai selesai acara pun aku paling banyak bekerja (mungkin karena aku berperan sebagai orang yang bingung mencari pekerjaan). Ya, seperti mencabuti hekter dari kain, membantu mengangkat kayu, pot, dan LCD, mengembalikan keyboard, mike, bangku, tape, dan meja ke tempat asalnya, mengambil air mineral dalam 2 gelas, dan Pepsi, Memperbaiki hordeng, dan menyapu sedikit lantai.
Ya, biarkanlah. Semua itu sudah terbayarkan dengan penampilan yang mengesankan dan memuaskan, ditambah lagi dengan gaji sebesar Rp 20.000. Semua itu pun seolah membuatku yang capek merasakan suatu kesenangan tersendiri. Ya. Pelajaran memang berarti.
Kamis, 27 Mei 2010
Rabu, 19 Mei 2010
Foto kusam...
Hah...
Diam. Sepi. Sunyi...
Pelipur terhibur lara...
Termenung pandangi panorama...
Semua jaya dalam kamar...
Yang terekam dalam kamera...
Yang terbuang dalam kubur...
Yang tersimpan dalam hati...
Yang terlupakan dalam benak...
Namun memori tiada batas...
Tiada halangan untuk tetap teruskan...
Merekam gambar dalam kamera...
Menangkap tetua dengan jaring...
Dan tak ada halangan...
Tuk tetap menulis dalam puisi...
Sudah berdiri diam tergerak...
Namun duduk diam bergeming...
Saat laju hati tertuju...
Kaca mulai ditekuk...
Seingat-ingatnya aku mengingat semua yang teringat dalam ingatan yang tidak teringat sekalipun...
Tetap muncul gambar itu...
Terbuang hanya sesaat...
Itu selalu kembali...
Walau tidak terkira...
Walau tidak terasa...
Selalu membuat ingat...
Membuat semua hampir terlihat buyar...
Adakah keterangan?
Adakah kebenaran?
Adakah ketegangan?
Adakah kesinambungan?
Dan...
Adakah gambar yang tersimpan?
Diam. Sepi. Sunyi...
Pelipur terhibur lara...
Termenung pandangi panorama...
Semua jaya dalam kamar...
Yang terekam dalam kamera...
Yang terbuang dalam kubur...
Yang tersimpan dalam hati...
Yang terlupakan dalam benak...
Namun memori tiada batas...
Tiada halangan untuk tetap teruskan...
Merekam gambar dalam kamera...
Menangkap tetua dengan jaring...
Dan tak ada halangan...
Tuk tetap menulis dalam puisi...
Sudah berdiri diam tergerak...
Namun duduk diam bergeming...
Saat laju hati tertuju...
Kaca mulai ditekuk...
Seingat-ingatnya aku mengingat semua yang teringat dalam ingatan yang tidak teringat sekalipun...
Tetap muncul gambar itu...
Terbuang hanya sesaat...
Itu selalu kembali...
Walau tidak terkira...
Walau tidak terasa...
Selalu membuat ingat...
Membuat semua hampir terlihat buyar...
Adakah keterangan?
Adakah kebenaran?
Adakah ketegangan?
Adakah kesinambungan?
Dan...
Adakah gambar yang tersimpan?
Senin, 10 Mei 2010
Tinta Hitam...
Rutin selalu aku makan...
Baik gurame, baik mie instant...
Ku tulis dalam kertas putih...
Semua kenyangku...
Semua laparku...
Ku tuliskan dalam gelap...
Terus kupakai sepatuku...
Terus kupakai bajuku...
Namun hampir tak pernah kulihat semuanya...
Sepatuku, bajuku...
Kutuliskan semua dalam kertas buram...
Kucalnya...
Berantakannya...
Kutuliskan kala siang...
Kadang kucari sebuah buku...
Namun buku itu meranggaskan kertasnya...
Ada juga yang dapat ku tulis...
Namun kertas itu beterbangan...
Mengikuti burung merpati...
Namun tak sampai jatuh ke permukaan...
Belum kutemukan buku yang menerima sepenuhnya tulisanku ini...
Tidak sepotong tulisan pun mau diam bersarang dalam buku itu...
Namun potongan-potongan kertas putih dan kertas buram itu...
Diam bertumpu pada meja...
Walaupun kadang kertas putih itu tak dapat ku temukan...
Ku tetap mencari kertas putih itu sebagaimana pun hilangnya kertas itu...
Beberapa jendela terbuka di siang hari...
Namun enggan ku lihat sang mentari...
Beberapa kertas buram pun berserakan di atas meja...
Jarang ku bereskan...
Namun sering kutambah kertas buram itu dengan semua coretan tanpa arti...
Kadang ku tambah dengan tulisan...
Kadang kutampah dengan segala urek-urekan...
Kadang kutambah dengan segala gambar...
Kadang kutambah dengan angka-angka...
Semua itu tertulis dalam kertas buram itu...
Tanpa warna putih pada waktu siang...
Baik gurame, baik mie instant...
Ku tulis dalam kertas putih...
Semua kenyangku...
Semua laparku...
Ku tuliskan dalam gelap...
Terus kupakai sepatuku...
Terus kupakai bajuku...
Namun hampir tak pernah kulihat semuanya...
Sepatuku, bajuku...
Kutuliskan semua dalam kertas buram...
Kucalnya...
Berantakannya...
Kutuliskan kala siang...
Kadang kucari sebuah buku...
Namun buku itu meranggaskan kertasnya...
Ada juga yang dapat ku tulis...
Namun kertas itu beterbangan...
Mengikuti burung merpati...
Namun tak sampai jatuh ke permukaan...
Belum kutemukan buku yang menerima sepenuhnya tulisanku ini...
Tidak sepotong tulisan pun mau diam bersarang dalam buku itu...
Namun potongan-potongan kertas putih dan kertas buram itu...
Diam bertumpu pada meja...
Walaupun kadang kertas putih itu tak dapat ku temukan...
Ku tetap mencari kertas putih itu sebagaimana pun hilangnya kertas itu...
Beberapa jendela terbuka di siang hari...
Namun enggan ku lihat sang mentari...
Beberapa kertas buram pun berserakan di atas meja...
Jarang ku bereskan...
Namun sering kutambah kertas buram itu dengan semua coretan tanpa arti...
Kadang ku tambah dengan tulisan...
Kadang kutampah dengan segala urek-urekan...
Kadang kutambah dengan segala gambar...
Kadang kutambah dengan angka-angka...
Semua itu tertulis dalam kertas buram itu...
Tanpa warna putih pada waktu siang...
Jumat, 07 Mei 2010
Serba salah...
Kenapa?
Mengapa?
Apa?
Bagaimana?
Semua terasa salah...
Bicara salah...
Diam salah...
Bahkan bergerak pun bisa mengakibatkan kesalahan...
Tiada hentikah?
Tiada akhirkah?
Apa salahku?
Aku tahu diriku tidak bisa menahan kesabaran...
Aku tahu diriku ceroboh...
Aku tahu semua selalu dilimpahkan padaku...
Bahkan orangtua sendiri menuduhku...
Belum sampai aku bicara...
Datang sudah interupsi tak berdasar...
Belum sampai aku bergerak...
Celakalah sudah orang lain...
Entah orang, entah benda...
Ya, semua seperti tuli...
Tidak mendengar teriakanku...
Hanya melihat keburukanku...
Walau memang besar pasak dari pada tiang...
Apakah juga kelebihanku...
Selain membuat jengkel orang lain...
Dan membuat sebal orang lain...
Memang aku banyak bicara...
Memang aku asal bicara...
Omonganku kadang tak bisa kujaga...
Memang aku ceroboh...
Tak bisa melihat situasi...
Hanya bisa merusak...
Tanpa bertanggung jawab sedikitpun...
Diriku seakan menjadi batu sandungan bagi setiap orang...
Baik orangtua, teman, bahkan guru...
Tak bisa berlaku seperti biasa...
Namun harus diubah...
Menjadi debu jalanan nan tak terpandang...
Menjadi bayangan dimalam hari...
Jawaban?
Diam...
Namun, sebelumnya...
Terima kasih...
Aku tak mengharapkan apapun...
Walaupun hanya di kata semata...
Namun akan berusaha...
Mengapa?
Apa?
Bagaimana?
Semua terasa salah...
Bicara salah...
Diam salah...
Bahkan bergerak pun bisa mengakibatkan kesalahan...
Tiada hentikah?
Tiada akhirkah?
Apa salahku?
Aku tahu diriku tidak bisa menahan kesabaran...
Aku tahu diriku ceroboh...
Aku tahu semua selalu dilimpahkan padaku...
Bahkan orangtua sendiri menuduhku...
Belum sampai aku bicara...
Datang sudah interupsi tak berdasar...
Belum sampai aku bergerak...
Celakalah sudah orang lain...
Entah orang, entah benda...
Ya, semua seperti tuli...
Tidak mendengar teriakanku...
Hanya melihat keburukanku...
Walau memang besar pasak dari pada tiang...
Apakah juga kelebihanku...
Selain membuat jengkel orang lain...
Dan membuat sebal orang lain...
Memang aku banyak bicara...
Memang aku asal bicara...
Omonganku kadang tak bisa kujaga...
Memang aku ceroboh...
Tak bisa melihat situasi...
Hanya bisa merusak...
Tanpa bertanggung jawab sedikitpun...
Diriku seakan menjadi batu sandungan bagi setiap orang...
Baik orangtua, teman, bahkan guru...
Tak bisa berlaku seperti biasa...
Namun harus diubah...
Menjadi debu jalanan nan tak terpandang...
Menjadi bayangan dimalam hari...
Jawaban?
Diam...
Namun, sebelumnya...
Terima kasih...
Aku tak mengharapkan apapun...
Walaupun hanya di kata semata...
Namun akan berusaha...
Langganan:
Komentar (Atom)