Rabu, 13 Oktober 2010

Murid itu Sebenarnya Budak (?)

Saat ini bosan sudah menjadi teman dan penat di kepala sehabis ujian tengah semester yang mematikan itu masih terbesit dalam otak ini. Lalu di SMAku aku mulai bertanya pada diriku "Apa yang harus aku lakukan?" Ya, sebenarnya sudah dari beberapa hari yang lalu sebelum hari senin yang lalu aku pikirkan hal ini. Namun saat kata-kata permohonan diucapkan, beberapa kata penolakan muncul. Awalnya halus dan biasa saja. Namun setelah ditekan beberapa hari akhirnya terasa juga gerahnya guru yang selalu ditagih olehku. Sebenarnya hanya ingin bertanya, sebenarnya boleh tidak bermain basket di lapangan pagi hari ini atau saat istirahat. Namun tetap saja tidak boleh. Waktu yang disiapkan hanya saat pulang sekola. Pulang sekola? Panas begitu? Bukankah pagi lebih baik sinarnya dari pada siang? Apalagi saat matahari sangat menyengat, orang bisa dibuat pusing olehnya. Jadi kapankah saatnya beristirahat? Dirumah saja? Kalau disekolah? Mau mengerjakan apa? Belajar? Bukankah sudah ujian? Bukankah setelah ujuian seharusnya libur dan "belajar dirumah"? Kenapa menjadi belajar secara harfiah di sekolah? Bahkan berolah raga di pagi hari yang cerah dengan sinar mentari yang menyehatkan pun tidak boleh dinikmati? Bagaimana ini? Setengah dari kelas pergi untuk homestay dan setengah lagi harus belajar dengan meninggalkan mereka yang sedang pergi? Adakah solusi dari semua ini? Sudah aku tawarkan beberapa solusi.

>Liburkan!
Tapi guru harus bekerja.

>Biarkan kami bermain!
Tidak boleh. Titik!
>Basket juga tidak?
Tidak!
>Di pagi hari yang menyehatkan tubuh ini?
Tidak! Lebih baik carilah kegiatan yang bermanfaat.

Apa? Membuat hiasan untuk festifal? Kami juga jadi bosan! Tolonglah mengerti. Kami juga manusia. Kami punya batasan untuk menerima dan batasan untuk mengerti. Jadi cobalah untuk mengerti dan bukan dimengerti. Sebenarnya kami itu apa? Selalu saja ada alasan untuk menghindar? Apakah jabatan yang menutup hatimu? Ataukah suara kami hanya angin yang lewat begitu saja? Angin yang hanya lewat di dalam paru-parumu dan keluar begitu saja? Yang kau butuhkan namun enggan kau dengarkan? Tolonglah. Aku juga punya batasan. Aku tidak bisa selamanya meratakan wajah ini. Aku mungkin memohon, hari ini. Tapi besok mungkin sudah bisa meneriaki. Walau teriakan itu bisa saja tersumbat di gendang telingamu dan memantul lagi ke dalam telingaku. Tolonglah. Aku butuh solusi. Bukan janji belaka dari lidah bersabuk hitammu itu.

Tidak ada komentar: